Selasa, 13 November 2012

PELANGGARAN KODE ETIK DI INDONESIA



(tugas dari pskiologi UNNES)

Contoh kasus 1
Pelanggaran Kode Etik Psikolog Harez Posma, seorang psikolog (konsultan) yang berkedudukan di fakultas psikologi tidak seharusnya melakukan pelanggaran berupa manipulasi data psikologi dan melakukan pencemaran nama baik. Harez Posma melanggar Pasal 31, mengenai peryataan melalui media, dia tidak seharusnya mengumumkan sesuatu yang tidak bisa dipertanggung jawabkan ke publik yaitu sejumlah individu (lebih dari satu orang) mengalami gangguan jiwa akibatikut dekon-kompatiologi Vincent Liong. Secara teran g- terangan Harez Posma mengakuinya dan mempublikasikan di salah satu mailing list, tanpa rasa bersalah. Pada akhirnya terjadi perdebatan saling menjelekkan antara Harez Posma dan Vincent Liong.

Pasal 11(1/2), menerangkan mengenai masalah dan konflik personal tidak seharusnya merugikan pihak lain, psikolog harus menahan diri, bila hal tersebut terjadi segera melakukan konsultasi professional. Selain itu juga melanggar Pasal 2, Prinsip B/3, mengenai tipuan atau distorsi fakta yang direncanakan dengan sengaja memberikan fakta-fakta yang tidak benar yang seharusnya tidak dilakukan psikolog. Pasal 2 Prinsip C/3, mengenai menjunjung tinggi kode etik, peran dan kewajiban professional, mengambil tanggung jawab secara tepat atas tindakan mereka,berupaya untuk mengelola berbagai konflik kepentingan yang dapat mengarah pada eksploitasi dan dampak buruk. Dalam memberikan pernyataan dan keterangan atau penjelasan ilmiah kepada masyarakat umum melalui berbagai jalur baik lisan maupun tertulis, Ilmuan Psikologi dan psikolog harus bersikap bijaksana, jujur, teliti, hati-hati, lebih mendasarkan kepada kepentingan umum dari pada kepada kepentingan pribadi atau golongan. Psikolog seharusnya memperhatikan kewenangan sesuai ketentuan yang berlaku untuk menghindari kekeliruan penafsiran sertamenyesatkan masyarakat pengguna jasa psikolog. Pernyataan dapat dikategorikan sebagai penipuan berkenaan dengan jasa/praktek psikologi, kegiatan professional, atau ilmiah. Apabila psikolog mengetahui bahwa pernyataanya termasuk penipuan atau pemalsuan terhadap karya mereka atau orang lain, psikolog harus membetulkan pernyataan tersebut.Harez Posma tidak seharusnya mengumumkan sesuatu yang tidak bisa dipertanggung jawabkan ke publik yaitu sejumlah individu (lebih dari satu orang) mengalami gangguan jiwa akibat ikut dekon-kompatiologi Vincent Liong.

Pasal 2 prinsip E/2,3, mengenai meminimalkan serta menghindari akibat atau dampak buruk apabila terjadi konflik,karena keputusan dan tindakan-tindakan ilmiah dari psikolog dan atau ilmuan psikologi dapat mempengaruhi kehidupan pihak lain.Dalam hal ini seharusnya psikolog menghargai, menghormati kompetensi dan kewenangan rekan dari profesi lain (Pasal 19). Kasus ini terutama melanggar Pasal 4/3c, karena dengan memanipulasi data berarti telah bertindak tidak jujur dan tidak objektif serta mengesampingkan norma-norma keahlian. Dalam melaksanakan kegiatannya, Ilmuan Psikologi dan Psikolog mengutamakan kompetensi, obyektivitas, kejujuran, menjunjung tinggi integritas dan norma-norma keahlian serta menyadari konsekuensi tindakannya pendirian Praktik.

Contoh kasus 2

Psikologi tidak tecatat di HIMPSI (tanpa izin) dan melanggar ketentuan kode etik

setelah menempuh pendidikan strata 1 dan 2 dalam bidang psikologi, seorang psikolog X kemudian membuka praktik psikologi dengan memasang plang di depan rumahnya. Dalam 1 tahun, Ia telah melakukan beberapa praktik antara lain mendiagnosis, memberikan konseling dan psikoterapi terhadap kliennya. Namun ketika memberikan hasil diagnosis, ia justru menggunakan istilah-istilah psikologi yang tidak mudah dimengerti oleh kliennya, sehingga sering terjadi miss communication terhadap beberapa klien tersebut. Hal lain sering pula terjadi saat ia memberikan prognosis kepada klien, seperti menganalisis gangguan syaraf yang seharusnya ditangani oleh seorang dokter. Ia juga sering menceritakan masalah yang dialami klien sebelumnya kepada klien barunya dengan menyebutkan namanya saat memberikan konseling. Psikolog X tersebut terkadang juga menolak dalam memberikan jasa dengan alasan honor yang diterima lebih kecil dari biasanya.
Suatu saat, perusahaan Y membutuhkan karyawan baru untuk di tempatkan pada staf-staf tertentu dalam perusahaan. Pimpinan perusahaan Y kemudian memakai jasa Psikolog X untuk memberikan psikotes pada calon karyawan yang berkompeten dalam bidangnya. Namun, ketika memberikan psikotes tersebut, Psikolog X itu bertemu dengan si Z saudaranya dan Z meminta agar Psikolog X memberikan hasil psikotes yang baik supaya ia dapat diterima dalam perusahaan tersebut. Karena merasa tidak enak dengan saudaranya itu, Akhirnya psikolog X itu memberikan hasil psikotes yang memenuhi standart seleksi penerimaan calon karyawan, hingga Z tersebut kemudian diterima dalam perusahaan Y dengan menduduki kedudukan sebagai staff tertinggi.

Seiring berjalannya waktu, perusahaan Y justru sering kecewa terhadap cara kerja Z karena dianggap tidak berkompeten dalam bidangnya. hingga akhirnya Pimpinan perusahaan Y menyelidiki cara pemberian jasa Psikolog X, namun alangkah terkejutnya pimpinan tersebut ketika mengetahui bahwa Pendirian Praktik Psikolog X belum tercatat pada HIMPSI dan Psikolog X tersebut sama sekali belum pernah menjadi anggota HIMPSI.

Menurut kelompok kami, dalam rekam kasus diatas psikolog X dapat dikatakan sebagai malpraktek Psikologi karena psikolog X melanggar kode etik pasal 4 ayat (3) mengenai penyalahgunaan di bidang psikologi, dimana pada pasal tersebut dikatakan bahwa “ pelanggaran kode etik psikologi adalah segala tindakan psikolog dan/atau ilmuwan psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang dirumuskan dalam kode etik psikologi Indonesia. Termasuk dalam hal ini adalah pelanggaran oleh psikolog terhadap janji/sumpah profesi, praktik psikologi yang dilakukan oleh mereka yang bukan psikolog, atau psikolog yang tidak memiliki ijin praktek, serta layanan psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam kode etik Indonesia…….”. Namun bila kami telaah lebih dalam lagi maka ada beberapa pelanggaran yang dapat dikenakan pasal lebih mendetail, yaitu sebagai berikut :
Psikolog X berhasil menyelesaikan strata 1 hingga 2 dan telah memiliki tempat praktek psikologi namun ijinya tidak tercantum di HIMPSI, hal ini dapat dikatakan melanggar kode etik seperti halnya tercantum dalam BAB 1 Pedoman Umum pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa “…….., DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI”.

Dalam kasus diatas rupanya psikolog X juga menangani hal-hal diluar kompetensinya (menangani gangguan syaraf yang biasanya di tangani oleh dokter), bila kondisinya hanya sebagai partner kerja dari dokter maka bukan masalah, namun apabila ini tidak ada kaitannya sebagai bahan pertimbangan dokter, maka hal ini juga dapat dikatakan sebagai pelanggaran kode etik karena sesuai dengan BAB III pasal 7 ayat (1) yaitu mengenai “ilmuwan psikologi memberikan layanan dalam bentuk mengajar, melakukan penelitian dan/atau intervensi social dalam area sebatas kompetensinya, berdasarkan pendidikan, pelatihan atau pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu yang dipertanggungjawabkan”.
Kesalahan fatal yang dilakukan oleh seorang psikolog adalah bila salah melakukan diagnosis, hal ini karena klien yang terlanjur percaya dengan psikolog akan menganggap benar seluruh hal yang disampaikan oleh psikolog dan berpendapat seluruh anjuran yang disampaikan psikolog adalah pemecahan yang terbaik. Seperti halnya contoh kasus diatas yang menceritakan bahwa psikolog X sering melakukan kesalahan saat prognosis, dan sering terjadi miss communication karena ternyata psikolog X menggunakan bahasa dan istilah awam yang kurang dapat dipahami oleh masyarakat luas sehingga ini menyalahi kode etik pada BAB I pasal 2 prinsip C (1) yang menyatakan bahwa “ Psikolog dan/atau ilmuwan psikolog harus memiliki kompetensi dalam melaksanakan segala bentuk layanan psikologi, penelitian, pengajaran, pelatihan, layanan psikologi dengan menekankan pada tanggung jawab, kejujuran, batasan kompetensi, obyektif dan integritas.

Dalam kasus diatas, dikatakan bahwa Psikolog X juga sering menceritakan kasus ataupun problem klien sebelumnya dengan disertai nama klien itu, hal ini tentu akan manjadi sebuah pelanggaran bila penyebutan itu tanpa seijin dari klien yang dijadikan obyek pembicaraan. Sehingga seperti yang disebutkan pada BAB V kerahasiaan rekam dan hasil pemeriksaan psikologi pasal 25 mendiskusikan batasan kerahasiaan data kepada pengguna layanan psikologi ayat (2) lingkup orang pada bagian (b) dikatakan “ keterangan atau data yang diperoleh dapat diberitahukan kepada orang lain atas persetujuan pemakai layanan psikologi atau penasehat hukumnya”. Pada kasus diatas, juga disajikan info bahwa psikolog X memberikan hasil psikotes yang baik kepada Z yang tidak lain adalah familinya agar diterima diperusahaan Z yang sedang memakai jasa pelayanan psikologinya. Jelas-jelas ini melanggar kode etik psikologi, seperti yang tercantum dalam BAB IV pasal 13 mengenai sikap professional pada ayat (1) yang berbunyi “ psikolog dan/atau ilmuwan psikologi dalam memberikan layanan psikologi, baik yang bersifat perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi/institusi, harus sesuai dengan keahlian dan kewenangannya serta kewajiban untuk : a). mengutamakan dasar-dasar professional, b). memberikan layanan pada semua pihak yang membutuhkannya, c). melindungi pemakai layanan psikologi dari akibat yang merugikan sebagai dampak layanan psikologi yang diterimanya, d). mengutamakan ketidak berpihakan dalam kepentingan pemakai layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dalam pemberian pelayanan tersebut, d). dalam hal pemakai layanan psikologi menghadapi kemungkinan akan terkena dampak negative yang tidak dapat dihindari akibat pemberian layanan psikologi yang dilakukan oleh psikolog dan/atau ilmuwan psikologi maka pemakai layanan psikologi tersebut harus diberi tahu”.
Dengan pasal-pasal yang dilanggar oleh psikolog X seperti yang telah dijabarkan diatas maka psikolog X dapat ditindak sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya oleh Majelis HIMPSI yang berwenang, karena perbuatannya secara pasti dan meyakinkan telah melanggar ketentuan Kode Etik Psikologi Indonesia.

Menurut kelompok kami, ada beberapa solusi dan penanganan yang dapat dilakukan untuk mencegah hal seperti diatas, yaitu :
Kode Etik Psikologi on-Air : Selama ini pelanggaran kode etik sering dilakukan tanpa disadari. banyak hal-hal yang sebenarnya dapat dicegah melalui peran serta masyarakat sendiri. Jika masyarakat menyadari bahwa dalam pelayanan psikologi diperlukan professionalisme dan layanan berlandaskan etika keprofessian psikolog, maka masyarakat dapat secara aktif menolak dan memilih layanan yang tepat. dengan demikia maka berbagai kemungkinan pelanggaran dapat diminimalkan. Kode etik psikologi on-air atau kode etik goes to mass media merupakan sebuah tawaran program yang cerdas dalam mencerdaskan masyarakat dalam menghadapi berbagai kemungkianan pelanggaran dalam kode etik psikologi. Program ini akan meminta peran serta dan kerjasama pihak-pihak media massa dalam melakukan diskusi, menyiarkan, dan mepublikasikan hal-hal yang terkait pelaksanaan pelayanan psikologi sesuai etika keilmuan dan keprofesian. Melalui program ini, diharapkan akan dapat terjalin kerjasama antara pihak media massa, kalangan psikologi, dan masyarakat dalam menerapkan layanan psikologi yang lebih baik kedepannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar